Kamis, 28 Juli 2016

Apa itu patah hati?

Apa itu patah hati?

Bagi sebagian orang, patah hati adalah hal yang paling ingin mereka hindari. Kemungkinan terburuk yang akan dialami. Dan selalu disemogakan untuk tak pernah terjadi.

Padahal secara tidak sadar, manusia mengalami patah hati setiap hari.
Dari sekedar kecewa, sakit hati, sampai yang mungkin membawa pergi nyawa dari diri.

Beberapa orang mengaku, mereka sudah terlatih patah hati.
Bagiku itu bohong.
Patah hati adalah perihal yang sama seperti ujian, tes, dan persoalan rumit lain.
Ia akan tetap terasa meski sudah terbiasa.

Jadi, bagaimana cara menghadapi patah hati?

Aku akan menganggap patah hati adalah anugerah.
Patah hati mengingatkan aku bahwa aku masih memiliki hati yang bisa dipatahkan.
Patah hati menyadarkan aku bahwa aku masih memiliki perasaan.
Atah hati mengingatkan aku bahwa aku pernah bahagia dibaliknya.
Mengingatkan aku bahwa aku adalah manusia.

Jadi, daripada mencoba mengingkari. Kenapa kita tidak coba, untuk menikmati?

Selasa, 08 Maret 2016

Janji itu.

Aku adalah lelaki, maka pada kodratnya aku tak akan pernah mengerti wanita.
Tapi, entah kenapa kali ini seolah aku mengerti satu bagian dari sikapmu.

Diam.
Diammu, berarti tidak untukku.

Maka, apakah rumah tetap rumah, jika ia tidak mengakuimu sebagai pemiliknya?
Apakah rumah tetap rumah, jika ia menolak membiarkanmu pulang?

Baginya bukan, tapi tidak bagiku.

Aku pernah kehilangan rumahku.
Aku pernah pergi, dari satu tempat ternyaman, demi tempat-tempat lain yang kupikir lebih nyaman.

Tapi aku salah, juga lelah.
Aku kehilangan tempat ternyaman, dan tak menemukan yang lebih darinya.
Aku pengembara tanpa rumah, berjalan tanpa arah.
Aku lelah.

Dan akhirnya kini, aku menemukan kembali tempat itu.
Tempat yang aku pernah begitu betah di dalamnya.
Tempat yang selalu menanti kepulanganku.
Aku menemukannya lagi. Aku menemukanmu.

Lantas, apakah mungkin aku membiarkannya hilang lagi?
Mengulang penyesalan bertahun-tahun, yang bahkan bertahan hingga kini?

Tidak, tentu tidak.

Aku akan memperjuangkannya.
Memperjuangkan hal yang memang harusnya menjadi milikku.

Meski rumah itu menolak untuk ditinggali.
Meski rumah itu tak lagi menunggu kepulanganku.

Aku tetap akan memperjuangkannya.

Janji itu, janji yang pernah jadi tujuan hidupku.

Janji yang jadi kunci, pembuka pintu rumah terindahku.

Janji itu, janji yang sama seperti kepergianmu sebelumnya.

Janji itu, bahwa aku akan memperjuangkanmu, menunggu, hingga pintu itu terbuka lagi untukku.

Bolehkah aku pulang?

Orang-orang mengatakan bahwa Cinta adalah yang terbaik yang bisa kita temukan.
Maka, setiap orang mulai membatasi, siapa saja yang akan dicintainya.
Dia harus cantik, dia harus tinggi, dia harus perhatian, dia harus berjuang, dia tidak boleh posesif, tidak boleh cuek, dan batas-batas lainnya.

Beberapa orang, membatasi demi ego juga nafsu.
Aku ingin punya yang seperti ini, aku ingin punya yang seperti itu.
Beberapa yang lain membatasi demi harga diri.
Aku tampan, maka cintaku harus cantik. Aku pintar, maka cintaku harus sama.
Ada pula yang membatasi karena penyesalan.
Aku tidak ingin yang ini karena dia akan ini, aku tidak ingin yang itu karena dia karena seperti itu.

Itu yang semua orang lakukan.
Semua orang, tak terkecuali aku.

Kita melupakan konsep cinta itu sendiri.

Cinta, adalah rumah. Rumah yang nyaman.

Semua orang ingin punya rumah yang besar. Kita ingin rumah dengan perabotan mahal.
Tapi akankah itu nyaman?
Kita diharuskan bersih-bersih lebih banyak, berjalan lebih jauh, bahkan diharuskan melakukan perawatan lebih mahal,
Iya, kita salah. Kita bukan butuh rumah termegah.
Yang kita butuhkan adalah rumah yang nyaman. Meski itu bukan yang paling baik, tapi itu terbaik bagi kita.

Kita tidak harus punya rumah mewah, meski kita kaya.
Kita juga tidak harus punya rumah di atas air hanya karena kita ingin, atau suka dengan air.
Kita hanya butuh rumah yang nyaman.

Aku selalu berpikir, Aku tampan, maka aku harus mencintai wanita cantik. Aku cerdas, maka cintaku haruslah cerdas. Aku memiliki kehidupan, maka wanitaku haruslah membebaskanku. Aku menyenangkan, maka aku harus menemukan wanita yang memahami candaanku.

Apakah orang seperti itu ada?
Tentu, karena semua batasan itu ada, karena aku pernah menemukannya.
Aku tidak ingin aku mencintai orang yang lebih tidak nyaman dari kenyamanan yang telah aku terima.
Maka, segala kecocokan itu menjadi batasan baruku.

Kini, aku telah menemukan kecocokan itu.
Atau lebih tepatnya, aku menemukan kembali kenyamanan yang pas itu.
Aku menemukan rumahku.
Tempatku untuk pulang.
Tempat yang selalu aku tuju setiap kali aku lelah dalm pencarianku.
Rumahku.

Tapi rumah, adalah rumah jika ia memang milikku.
Aku tidak akan pernah bisa memaksa, rumah nyaman milik orang lain untuk menjadi milikku.

Begitu pula dalam kasus ini.
Aku tidak mungkin memaksamu menjadi rumahku.

Aku hanya bisa mengatakan, kamu adalah rumah yang nyaman untukku. Yang selalu bisa menerimaku disaat terburukku, juga menyembuhkanku disaat terlelahku.

Aku disini, masih sama seperti yang dulu.
Membuktikan satu janji yang sama
Menanyakan satu pertanyaan yang sama.

Bolehkah aku pulang?